Your letter contains nothing but illegible signs
Therefor I want to meet you to hear the words from you
I won‘t accept the white, only a sigh echos
If I understand the colors of the sky I‘ll get saved
I also want to forget the unsteady breathing someday
But despite the wish for strength I‘m searing
'the morning I‘m averting' when you‘re singing that song thorns accompany my sleep
Restraint entwines around my body
Even the mind seems to sleep
Your cheek touched the fever, longing and smooth
When looking into the shadows of the blurry gap, I see the warm colours of a dream
My eyes reflect your image
Even though the day when loosing sight of you will come
You‘ll always stay right in front of my eyes
At days when the sunlight shines through the treetops
I won‘t be at your side anymore
The blurry white trembles
And I also forget your words
Whereto are tears flowing?
You‘re calling my name
Even though I‘m about to break you‘re holding me tightly in your arms
I‘m afraid to go
Where are you singing your song for me?
My ears can‘t hear it anymore but it‘s the echo of an unsteady heartbeat
Even the mind seems to sleep
It‘s the remaining fever which doesn‘t allow me to remember
When looking into the blurry gap (I see) the cold colors of reality
Thousand tiny wings (Papercranes)
Because of your wish they won‘t leave me alone
Without returning your smile
I count the memories with my sigh until the very last moment (appears)...
I hear your voice
in the dawn when everything will be nothing
'The one thing we can‘t be together'
22 Oktober 2010
5
- j o u r n e y -: Oktober 2010
Your letter contains nothing but illegible signs Therefor I want to meet you to hear the words from you I won‘t accept the white, only a s...
20 Oktober 2010
Disclaimer : NARUTO (c) Masashi Kishimoto
.
IDENTITY (c) Izzatun Nisa Sy a.k.a Nay Akanaru
Warnings : Alternate Universe, OOC, Dialog-less, alur yang loncat-loncat(?) =__=a
.
.
Happy Reading!
.
.
.
Langit mendung, diliputi awan kelabu. Perlahan, titik-titik air itu turun dari langit membasahi dunia --juga tubuhku yang saat itu telah mati rasa. Apa yang bisa dilakukan seorang anak kecil sepertiku di antara suara dentuman meriam dan kepulan asap yang membumbung tinggi di udara dan kemudian menghalangi pemandangan sekitar. Aku yang saat itu hanyalah seorang bocah hanya bisa merunduk, bersembunyi di tengah puing-puing bangunan yang dulunya berdiri kokoh. Mengintip keluar dengan pandangan yang menyiratkan kengerian, setidaknya aroma hujan yang khas telah menguar di udara dan membuat atmosfer sekitar terasa lebih nyaman walau hanya sesaat.
.
Tanpa kusadari waktu terus berlalu dari detik ke menit lalu ke jam setelah itu beralih ke hari yang kemudian menjadi minggu, bulan, tahun dan seterusnya akan seperti itu. Tak terasa sudah kulewati waktuku selama tiga tahun begitu kusadari diriku berada di tempat penampungan ini. Tiga tahun telah terlewati sejak para tentara itu menemukanku terkapar tak berdaya di antara reruntuhan bangunan. Juga tiga tahunlah benda ini terus bersamaku, satu-satunya benda peninggalan dari keluargaku yang masih tersisa dan akan kusimpan selamanya sebagai identitasku yang sebenarnya.
.
Mereka bilang aku bisu. Namun para ahli medis itu berkata aku mengalami trauma yang cukup parah. Aku hanya bisa membungkam mendengar komentar mereka yang sebenarnya sama sekali tak kupedulikan. Biarkan saja, toh pada akhirnya mereka memanggilku dengan sebutan "SAI". Sai, namaku yang sekarang sebagai pengganti namaku yang dulu. Hanya terdiri dari tiga huruf S, A, dan I tanpa marga. Karena tak ada yang mengenal siapa diriku yang sebenarnya dan aku sendiripun begitu. Sepertinya trauma membuatku kehilangan sebagian ingatanku yang berharga.
.
Hidup di antara peperangan seperti ini membuatku akrab dengan bau mesiu yang memenuhi udara, suara ledakan, desingan peluru, juga aroma hujan yang membawa kesejukan sesaat di antara debu-debu peperangan yang berterbangan di udara. Hariku, seperti tiada hari tanpa warna merah yang menodai permukaan tanah yang tak lagi rata. Pemandangan itu terpatri kuat dalam ingatanku.
.
Keluarga. Family, FAther Mother I Love You. Atau apalah orang-orang di luar sana menyebutnya. Aku tak tahu apa rasanya memiliki keluarga, karena aku tak tahu siapa keluargaku, siapa orang tuaku, siapa saudaraku dari mana aku berasal, dan--
--siapa aku sebenarnya.
Menyedihkan, mungkin mereka akan beranggapan seperti itu dan mengasihaniku. Tapi, hey! Kau tahu? sejujurnya aku tak membutuhkan itu. Karena aku tak merasa sedih ataupun rindu. Karena seolah aku benar-benar seorang diri di dunia ini. Karena aku sudah memiliki sosok seorang 'kakak' disini. Setidaknya aku menganggap begitu. Shin.
.
Hujan. Lagi. Seolah mendukung suasana perpisahan yang mengharu biru. Aku, err-- bukan. Tepatnya kami semua tahu, mengerti bahwa ini mungkin akan terjadi mengingat negara ini terus menerus mengalami peperangan yang belum mencapai akhir sejak enam tahun lalu dimana aku ditemukan oleh tentara baik hati itu. Lalu kami akan menjalani pendidikan militer, sehingga jika suatu ketika pemerintah merekrut kami, kami siap. Tetapi yang tak bisa kuterima adalah, dia Shin. Satu-satunya kakakku di tempat ini. Tak percaya rasanya saat menatap punggungnya pergi menuju medan perang, dimana nyawa bisa melayang kapan saja.
"Tetaplah hidup," hanya itu yang bisa kuucapkan sebagai salam perpisahan. Kita akan bertemu tiga tahun lagi.
.
Untuk yang kesekian kalinya aku kembali membiarkan hujan mengguyurku dari atas sana. Apakah aku terlihat seperti sedang menangis? Karena aku sudah lupa bagaimana caranya menangis sehingga aku menengadahkan wajah di tengah hujan seperti ini. Sesederhana itu. Dia telah pergi. Yang tertinggal hanyalah buku bergambar buatan kami dahulu dan telah kuisi penuh kecuali halaman paling akhir. Ini hari kepulangannya setelah setahun yang lalu, namun sepertinya Kami-sama hanya memulangkan namanya saja.
.
.
.
Gerakan tangannya terhenti, ia langsung meletakkan penanya begitu mendengar suara pintu yang terkuak bersamaan dengan seorang pemuda sebayanya yang memasuki ruangan itu.
"Hey, Sai. Lama sekali, yang lain sudah menunggu di luar. Danzou-sama baru saja memanggilmu tadi," ujarnya cepat.
"Hn. Aku akan segera kesana nanti. Arigatou, Kiba,"
"Sebentar lagi kita berangkat, jangan berlama-lama!"
BAM!
Pintu kembali tertutup rapat dan hanya ada ia seorang diri. Ia memandangi sebuah buku di hadapannya lalu tangannya membuka salah satu lemari bagian bawah meja yang berisi tumpukan buku. Aroma debu langsung menyambut dan memenuhi udara di sekitarnya, ketika ia mencoba mengangkat buku itu satu persatu seperti mencari sesuatu. Tak lama seulas senyum tipis menghiasi wajahnya yang agak pucat, setelah ia mendapati dua benda yang dicarinya. Sebuah kuas bergagang hitam peninggalan keluarganya, sepertinya ia benar-benar menyimpannya. Dan sebuah buku bergambar dengan satu halaman kosong di bagian belakangnya.
.
.
Tak sampai lima menit ia berkutat dengan kedua benda itu, lalu ia langsung mengenakan mantelnya dan mengangkat sebuah kopor besar dan pergi meninggalkan ruangan setelah terdengar suara 'klik' dari bagian luar pintu. Kini ruangan seluas tiga kali empat meter itu kosong, menunggu kembalinya sang pemilik yaang entah akan kembali kapan. Namun sepertinya pemuda bernama Sai itu cukup ceroboh juga. ia membiarkan lampu mejanya tetap menyala sehingga kita bisa melihat apa yang baru saja ditulisnya.
.
.
Father, Mother, Shin, wherever you are,
Wish me luck, I miss you all...
Sign,
Sai.
.
.
-The End-
.
A/N :
Tamat dengan unjelasly~ T___T
Kebetulan ada ide waktu lagi bikin fic lain, daripada keburu ilang mendingan ditulis aja XD
Alasan mengapa saya mengambil Sai sebagai main chara. Karena karakternya sangat mendukung. Di manga-nya juga Sai itu tidak jelas kan asal-usulnya? *choujugiga*
Mungkin ini kehidupan Sai versi AU(?) XD
.
How cool! XD
.
IDENTITY (c) Izzatun Nisa Sy a.k.a Nay Akanaru
Warnings : Alternate Universe, OOC, Dialog-less, alur yang loncat-loncat(?) =__=a
.
.
Happy Reading!
.
.
.
Langit mendung, diliputi awan kelabu. Perlahan, titik-titik air itu turun dari langit membasahi dunia --juga tubuhku yang saat itu telah mati rasa. Apa yang bisa dilakukan seorang anak kecil sepertiku di antara suara dentuman meriam dan kepulan asap yang membumbung tinggi di udara dan kemudian menghalangi pemandangan sekitar. Aku yang saat itu hanyalah seorang bocah hanya bisa merunduk, bersembunyi di tengah puing-puing bangunan yang dulunya berdiri kokoh. Mengintip keluar dengan pandangan yang menyiratkan kengerian, setidaknya aroma hujan yang khas telah menguar di udara dan membuat atmosfer sekitar terasa lebih nyaman walau hanya sesaat.
.
Tanpa kusadari waktu terus berlalu dari detik ke menit lalu ke jam setelah itu beralih ke hari yang kemudian menjadi minggu, bulan, tahun dan seterusnya akan seperti itu. Tak terasa sudah kulewati waktuku selama tiga tahun begitu kusadari diriku berada di tempat penampungan ini. Tiga tahun telah terlewati sejak para tentara itu menemukanku terkapar tak berdaya di antara reruntuhan bangunan. Juga tiga tahunlah benda ini terus bersamaku, satu-satunya benda peninggalan dari keluargaku yang masih tersisa dan akan kusimpan selamanya sebagai identitasku yang sebenarnya.
.
Mereka bilang aku bisu. Namun para ahli medis itu berkata aku mengalami trauma yang cukup parah. Aku hanya bisa membungkam mendengar komentar mereka yang sebenarnya sama sekali tak kupedulikan. Biarkan saja, toh pada akhirnya mereka memanggilku dengan sebutan "SAI". Sai, namaku yang sekarang sebagai pengganti namaku yang dulu. Hanya terdiri dari tiga huruf S, A, dan I tanpa marga. Karena tak ada yang mengenal siapa diriku yang sebenarnya dan aku sendiripun begitu. Sepertinya trauma membuatku kehilangan sebagian ingatanku yang berharga.
.
Hidup di antara peperangan seperti ini membuatku akrab dengan bau mesiu yang memenuhi udara, suara ledakan, desingan peluru, juga aroma hujan yang membawa kesejukan sesaat di antara debu-debu peperangan yang berterbangan di udara. Hariku, seperti tiada hari tanpa warna merah yang menodai permukaan tanah yang tak lagi rata. Pemandangan itu terpatri kuat dalam ingatanku.
.
Keluarga. Family, FAther Mother I Love You. Atau apalah orang-orang di luar sana menyebutnya. Aku tak tahu apa rasanya memiliki keluarga, karena aku tak tahu siapa keluargaku, siapa orang tuaku, siapa saudaraku dari mana aku berasal, dan--
--siapa aku sebenarnya.
Menyedihkan, mungkin mereka akan beranggapan seperti itu dan mengasihaniku. Tapi, hey! Kau tahu? sejujurnya aku tak membutuhkan itu. Karena aku tak merasa sedih ataupun rindu. Karena seolah aku benar-benar seorang diri di dunia ini. Karena aku sudah memiliki sosok seorang 'kakak' disini. Setidaknya aku menganggap begitu. Shin.
.
Hujan. Lagi. Seolah mendukung suasana perpisahan yang mengharu biru. Aku, err-- bukan. Tepatnya kami semua tahu, mengerti bahwa ini mungkin akan terjadi mengingat negara ini terus menerus mengalami peperangan yang belum mencapai akhir sejak enam tahun lalu dimana aku ditemukan oleh tentara baik hati itu. Lalu kami akan menjalani pendidikan militer, sehingga jika suatu ketika pemerintah merekrut kami, kami siap. Tetapi yang tak bisa kuterima adalah, dia Shin. Satu-satunya kakakku di tempat ini. Tak percaya rasanya saat menatap punggungnya pergi menuju medan perang, dimana nyawa bisa melayang kapan saja.
"Tetaplah hidup," hanya itu yang bisa kuucapkan sebagai salam perpisahan. Kita akan bertemu tiga tahun lagi.
.
Untuk yang kesekian kalinya aku kembali membiarkan hujan mengguyurku dari atas sana. Apakah aku terlihat seperti sedang menangis? Karena aku sudah lupa bagaimana caranya menangis sehingga aku menengadahkan wajah di tengah hujan seperti ini. Sesederhana itu. Dia telah pergi. Yang tertinggal hanyalah buku bergambar buatan kami dahulu dan telah kuisi penuh kecuali halaman paling akhir. Ini hari kepulangannya setelah setahun yang lalu, namun sepertinya Kami-sama hanya memulangkan namanya saja.
.
.
.
Gerakan tangannya terhenti, ia langsung meletakkan penanya begitu mendengar suara pintu yang terkuak bersamaan dengan seorang pemuda sebayanya yang memasuki ruangan itu.
"Hey, Sai. Lama sekali, yang lain sudah menunggu di luar. Danzou-sama baru saja memanggilmu tadi," ujarnya cepat.
"Hn. Aku akan segera kesana nanti. Arigatou, Kiba,"
"Sebentar lagi kita berangkat, jangan berlama-lama!"
BAM!
Pintu kembali tertutup rapat dan hanya ada ia seorang diri. Ia memandangi sebuah buku di hadapannya lalu tangannya membuka salah satu lemari bagian bawah meja yang berisi tumpukan buku. Aroma debu langsung menyambut dan memenuhi udara di sekitarnya, ketika ia mencoba mengangkat buku itu satu persatu seperti mencari sesuatu. Tak lama seulas senyum tipis menghiasi wajahnya yang agak pucat, setelah ia mendapati dua benda yang dicarinya. Sebuah kuas bergagang hitam peninggalan keluarganya, sepertinya ia benar-benar menyimpannya. Dan sebuah buku bergambar dengan satu halaman kosong di bagian belakangnya.
.
.
Tak sampai lima menit ia berkutat dengan kedua benda itu, lalu ia langsung mengenakan mantelnya dan mengangkat sebuah kopor besar dan pergi meninggalkan ruangan setelah terdengar suara 'klik' dari bagian luar pintu. Kini ruangan seluas tiga kali empat meter itu kosong, menunggu kembalinya sang pemilik yaang entah akan kembali kapan. Namun sepertinya pemuda bernama Sai itu cukup ceroboh juga. ia membiarkan lampu mejanya tetap menyala sehingga kita bisa melihat apa yang baru saja ditulisnya.
.
.
Father, Mother, Shin, wherever you are,
Wish me luck, I miss you all...
Sign,
Sai.
.
.
-The End-
.
A/N :
Tamat dengan unjelasly~ T___T
Kebetulan ada ide waktu lagi bikin fic lain, daripada keburu ilang mendingan ditulis aja XD
Alasan mengapa saya mengambil Sai sebagai main chara. Karena karakternya sangat mendukung. Di manga-nya juga Sai itu tidak jelas kan asal-usulnya? *choujugiga*
Mungkin ini kehidupan Sai versi AU(?) XD
.
How cool! XD
Label :
FanFiction
5
- j o u r n e y -: Oktober 2010
Disclaimer : NARUTO (c) Masashi Kishimoto . IDENTITY (c) Izzatun Nisa Sy a.k.a Nay Akanaru Warnings : Alternate Universe, OOC, Dialog-...
Langganan:
Postingan (Atom)