16 Februari 2015

Aku menulis...



"Menulis membebaskanku. Membesarkanku. Memberanikanku.
Aku menulis untuk membaca kehidupan. Aku menulis untuk berkaca. Aku menulis untuk melepaskan air mata. Aku menulis untuk menjadikanku manusia. Aku menulis untuk membunuh malam. Aku menulis untuk memaknai hidup. Aku menulis untuk bersyukur. Aku menulis karena menulis menyembuhkan, Aku menulis untuk merapikan masa lalu. Aku menulis karena kata-kata bisa menguatkan. Aku menulis untuk menggali hati nurani.
Menulis adalah meditasi.
Aku menulis untuk orang-orang yang telah menyentuh hatiku., kehangatan keluarga yang telah menghangatkan hidupku, serta alam sekitar yang menyegarkan perjalanan ini. Tulisanku mencoba menangkap kenangan agar mereka tidak menguap begitu saja. Aku menulis sebelum kenangan jatuh dari ingatan. Aku menulis untuk menangkap kenangan yang mungkin tak akan mampu tersimpan dalam memoriku. Sebelum diriku usang dan menghilang.
Tulisanku membuatku semakin berani. Dan bukankah hidup ini terasa bermakna ketika ada keberanian untuk melalui badai kehidupan. Keberanian untuk menembus batas ketakutan. Keberanian untuk melalui malam yang panjang. Keberanian untuk bertanya, untuk apa kita di sini?
Untuk apa?
Lewat tulisan ini juga, aku ingin kembali berkaca. Sudah jernihkan cintaku untuk orang-orang yang telah menguatkan perjalanan hidup ini?"

Sebuah kutipan yang ditemukannya di sebuah novel karya Iwan Setyawan pada pagi ini. Cukup mengingatkannya pada beberapa hal mengenai masa kecilnya dulu. Ia tak pernah tahu sejak kapan ia memulai, namun ia sangat menyukai hal itu. Dimulai dari lembaran kertas berukuran A4 yang digunting menjadi dua bagian, kemudian disatukan, dan dijilid menjadi sebuah buku polos berukuran mini. Halaman cover yang digambar sendiri, lalu imajinasi yang tumpah mengisi halaman demi halaman yang kosong itu.

Ia tak peduli pagi, siang, sore, atau malam. Ia hanya tak sabar untuk kembali menuliskan ceritanya hingga kisah itu tamat. Hingga ia harus menggunting kembali kertas yang baru dan membuatnya menjadi buku yang baru. Setiap pulang sekolah ia selalu mencaripojok yang nyaman untuk menulis. Sesekali membuat beberapa gambar yang dapat mendukung cerita.

Hasil karyanya tak pernah diterbitkan, hanya ditunjukkan kepada beberapa orang teman dekat yang dengan senang hati membacanya. Bahkan tak jarang jalan cerita dapat berubah di tengah jalan hanya karena ia menemukan arah cerita yang lebih seru. Ia benar-benar menulis sesuka hatinya, tanpa beban, tanpa paksaan. Dan kini buku-buku kecil itu entah telah tertimbun di mana.

Betapa bahagianya menjadi anak-anak, dibalik dunianya yang sempit ia masih memiliki dunia imajinasi yang luas.

Itu aku yang dulu. Aku yang sekarang...

Semakin kita dewasa, semakin kita mengerti, semakin kita akan menyadari kenyataan yang terjadi,

Mungkin ini adalah saat yang tepat untuk menyelami kembali dunia yang pernah ditinggallkan. Bukan sebagai kita yang dulu. Tetaplah sebagai kita yang sekarang dan mencoba memandang hidup dari sudut yang berbeda. Mudah untuk dikatakan namun butuh kesabaran dan kesungguhan saat dilakukan. Selalu ada saat-saat dimana ingin rasanya kembali ke beberapa tahun yang lalu, namun sayang waktu pun akan selalu melangkah maju walau hanya satu detik. Kita akan semakin menua setiap detik. Kita akan semakin menuju akhir setiap detik. Kita akan semakin menuju perpisahan dan pertemuan yang baru setiap detik. Satu hari pun akan semakin berakhir setiap satu detik.



"With endles time, nothing is special. With no loss or sacrifice, we can't appreciate what we have. There is a reason god limit our days."

"Why?"

"To make each one precious."
- Mitch Albom, The Time Keeper

Sudahlah, saya hanya ingin sedikit menulis sebelum kata-kata ini hilang dari ingatan..
5 - j o u r n e y -: Februari 2015 "Menulis membebaskanku. Membesarkanku. Memberanikanku. Aku menulis untuk membaca kehidupan. Aku menulis untuk berkaca. Aku menulis...
< >